Dimasa
serba internet sekarang ini, rasanya tidak ada orang yang tidak memiliki medsos
entah itu Facebook, Path, Instagram, Line, Wechat, Twitter, Pactor, BBM,
Whatsapp dan jenis-jenis lainnya, dari kalangan anak-anak sampai kakek-kakek.
Tak sedikit dari mereka yang menggunakan media tersebut sebagai ajang pamer apa
yang dimilikinya entah itu harta, kecantikan/ketampanan (meskipun hasil editan
bukan perawatan), kebahagiaan, tak terkecuali yaitu kemesraan.
Yah...
kemesraan mungkin sekarang menjadi salah satu hal yang paling menggiurkan untuk
dipamerkan, karena mereka ingin menunjukan kalo mereka bukan golongan para
fakir asmara yang akrab disapa jomblo, sebab dimata mereka jomblo adalah
makhluk yang sangat menyedihkan dan bahan paling empuk sebagai sasaran bully.
Mungkin pandangan seperti itu banyak dipengaruhi oleh tontonan-tontonan yang menanamkan
setigma negative tentang jomblo, bahwasanya jomblo itu hidupnya ngenes, galau,
terasingkan, menyedihkan-silahkan lanjutkan sendiri-bhakan sepertinya tidak ada
tontonan yang pernah menunjukan kebalikannya, hampir semua sinetron maupun yang
lainnya sepertinya menunjukan kalo memiliki pasangan (diluar nikah) itu lebih
indah daripada Jomblo (sampai halal).
Tanpa
kita sadari hal-hal tersebut telah mempengaruhi pemikiran generasi bangsa ini
semenjak usia dini, bahkan lucunya anak-anak kecil sekarang suka sinetron tentang
asmara (fakta di kampungku dan sekitarnya) dan yang suka kartun sepereti one
pice, Naruto malah orang-orang dewasa (terbukti kebanyakan temen-temen kampus saya
yang selalu menanyakan seaseon terupdate dari filem tersebut). Saya juga
bingung.
Setiap
hari anak-anak disuguhkan dengan pemandangan sperti itu, bagaimana mereka tidak
kasamaran terlalu dini, di zaman serba Smartphone orang membuka HP pasti
membuka sosmednya dan setiap membuka sosmed hal-hal tersebutlah yang mereka
saksikan, karena sudah menjadi fakta di tengah masyarakat maenan anak kecil
sekarang adalah Smartphone . Sangat wajar sekali bila anak yang masih duduk di
bangku kelas 3 SD sudah bisa kasmaran. Dan terkadang yang bikin perut saya
mules tidak sedikit dari mereka yang merajut asamara dengan pujaan hatinya
menikah di Facebook, nikah ko di Fb-emangnya FB bisa jadi pengulu-, nikah itu
di KUA cuy.
Tak
sedikit dari mereka yang telah mengarungi samudra pariwisata dan mendaki
eskalator mall bersama sang kekasih akhirnya sampai juga di pelaminan. Padahal
mereka anak yang baru lahir kemaren sore tapi sudah menikah. Saya saja yang
sudah sarjan belum menikah, entah mereka yang terlalu dini menikah atau saya yang
terlalu lama menunggu jodoh. :D
Menikah
diusia dinipun rasanya sudah menjadi trend di masyarakat, terutama di daerah
pedalaman, ada yang memang karena keinginan orang tuanya, ada juga karena
kenginan sendiri karena sudah kebelet kawin, banyak juga karena keceplosan
menanam di lahan yang belum halal. Tidak sedikit anak yang baru lulus SMP sudah
menikah bahkan yang masih duduk di bangku SMP sekalipun, padahal mereka umumnya
belum memiliki kesiapan mental, fisik dan materi secara matang, akibatnya
sebagian besar rumah tangga mereka berakhir berantakan.
Lantas
bagaimana fikih menyikapi masalah umur dalam pernikahan?
Nikah
menjadi dambaan setiap orang yang normal, hidup ini rasanya belum sempurna
kalau belum menikmati sebuah pernikahan. Dorongan untuk menikahpun semakin kuat
ketika semakin dewasa. Ketika itulah ia menunggu-nunggu kapan dirinya bisa
duduk bersanding bersama pujaan hati di sebuah pelaminan. Melalui pernikahan,
sepasang suami istri mengidam-idamkan
bahtera rumah tangga yang bahagia dan sejahtera. Dalam benaknya selalu
terbayang masa-masa yang indah bersama sang pujaan hati, tidak ada sedetikpun
tanpa sang kekasih.
Karena
tergiur kebahagiaan inilah , tidak sedikit remaja dibawah umur terbur-buru
untuk segera menikah bahkan tak jarang setudinya gagal gara-gara keburu nikah
(saran saya buat yang punya pasangan, manfaatkanlah pasanganmu untuk studimu
dan buat yang jomblo, maksimalkan masa jomblomu untuk studimu) meskipun
sebenarnya belum siap memasuki jenjang pernikahan. Akibatnya, dalam mengarungi
kehidupan rumah tangga mereka banyak menemui berbagai persoalan. Contoh klasik
misalnya sang istri tidak becus mengurusi anak, akhirnya suami menggantukan
kepada orang tuanya, suami istri kurang menyikapi perbedaan pendapat, sehingga
rumah tangga gampang sekali retak.
Melihat
realita ini pemerintah merasa perlu mengatur persoalaan ini. Karena
bagaimanapun keluarga merupakan unit terkecil dari bangsa ini. Asumsinya jika
kesejahteraan keluarga tidak terwujud, sulit rasanya kesejahteraan bangsa
tercapai. Dalam materi perkawinan kompilasi hukum Islam pasal 15 ayat 1
ditegaskan “untuk kemaslahatan keluarga dan rumah tangga perkawinan hanya boleh
dilakukan calon memepelai yang telah mencapai umur yang telah ditetapkan dalam
pasal 7 undang-undang no. 1 tahun 1974 yakni calon suami sekurang-kurangnya
berumur 19 tahun dan calon istri sekurang-kurangnya berumur 16 tahun”
Aturan
batasan minimal usia perkawinan ini sebenarnya memiliki tujuan bagus. Namun,
ketika dihadapkan pada kenyataan, seringkali timbul ketimpangan. Banyak
perkawinan karena alasan-alasan tertentu tidak memenuhi batas minimal usia
tersebut. Misalnya saja, kalau pernikahan ditunda khawtir terjadi perzinaan,
bahkan karena kebelet kawin tidak
sedikit orang yang merekayasa usianya untuk mencapai batas minimal tersebut.
Dari
sini muncul pertanyaan, bagaimana menurut fikih perkawinan dibawah umur?
Bagaimana juga pertimbangannya jika khawatir perzinaan?
Islam
sangat mendorong umatnya untuk melakukan pernikahan. Bahkan Rasulullah
menegaskan “Nikah adalah sunahku, barang siapa yang benci terhadap sunahku,
maka tidak termasuk golonganku”. Namun demikian, Islam menekankan bagi
orang yang ingin menikah untuk memiliki kesiapan fisik, mental dan materi. Untuk
menggodok kesiapan ini, tentu menunggu waktu hingga ia tumbuh dewasa,karena
pada usia dewasa , secara umum orang akan lebih siap mengarungi bahtera rumah
tangga. Rasulullah bersabda:
يَا
مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنْ اسْتَطَاعَ مِنْكُمْ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
"Wahai
para pemuda, siapa di antara kalian yang telah memperoleh kemampuan (menghidupi
rumah tangga), kawinlah. Karena sesungguhnya, perhikahan itu lebih mampu
menahan pandangan mata dan menjaga kemaluan. Dan, barangsiapa belum mampu
melaksanakannya, hendaklah ia berpuasa karena puasa itu akan meredakan gejolak
hasrat seksual." (mantan al-Bukhari, 23:III)
Sabda
Nabi ini menggunakan redaksi ya ma’syara
syabab,(para pemuda), menurut kalangan syafi’iyah
yang dimaksud syabab anak yang sudah baligh hingga usai 30 tahun.
Sedangkan menurut al-Qurtubhi dan Imam Zamahsyari anak tersebut berakhir pada
usia 32 tahun. Yang jelas, secara umum mereka berpendapat bahwa seseorang dapat
disebut syabab apabila sudah
menginjak usia baligh. Dengan demikian perintah menikah yang dimaksud hadis di
atas hanya khusus bagi orang yang menginjak dewasa saja. (Fath al-Bari, 107:IX)
Jika
demikian lantas bagaimana hukum perkawinan orang yang belum dewasa? Menanggapi
persoalan ini, para Ulama terbelah menjadi tiga kelompok:
Pertama,
kelompok jumhur Ulama yang terdiri dari
kalangan Malikiyyah, hanafiyyah Syafi’iyyah dan Hanabilah. Mereka sepakat
tentang sahnya pernikahan anak yang belum baligh. Karena kalangan mereka tidak
mensyaratkan aqil baligh dalam pernikahan. Pendapat ini berlandaskan pada ayat
alQur`an yang berbunyi:
وَأَنكِحُواْ ٱلۡأَيَٰمَىٰ
مِنكُمۡ وَٱلصَّٰلِحِينَ مِنۡ عِبَادِكُمۡ وَإِمَآئِكُمۡۚ إِن يَكُونُواْ
فُقَرَآءَ يُغۡنِهِمُ ٱللَّهُ مِن فَضۡلِهِۦۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ ٣٢
“Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan
orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba
sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan
kurnia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui”
Pada
ayat di atas kata “ayyama ” berlaku
umum, bias untuk perempuan atau laki-laki yang sudah besar (dewasa), bias juga
untuk perempuan yang masih kecil. Hal ini juga didukung dengan perilaku Nabi
yang menikahi Siti ‘Aisyah dalam usia yang masih belia. Diriwayatkan dari
‘Asiyah RA:
Rasulullah menikahi Siti ‘Aisyah ketika berusia enam tahun dan
‘Aisyah berkumpul serta tinggal bersama Rasulullah ketika berusia Sembilan
tahun. (Nail al-Authar, 120:VI).\
Banyak
juga para Sahabat yang ikut turut serta menikahkan putrinya ketika masih kecil.
Misalnya saja Ali Bin Abi Thalib menikahkanUmi Kultsum, putrinya dengan Urwah
bin Zubair. Urwah bin Zubair menikahkan anak perempuan saudaranya dengan anak
laki-laki saudaranya yang lain, padahal keduanya sama-sama masih kecil. Ini
menunjukan bahwa pernikahan anak yang masih belia itu sah. (al-Fiqhu al-Islami,
179-180:VIII).
Kelompok
kedua dipelopori oleh Ibnu Syibramah, Abu Bakar al-Asham dan Utsman al-Buthi.
Mereka berpendapat tidak boleh menikahkan perempuanm dengan laki-laki yang
masih kecil, mereka berpedoman pada ayat al-Qur`an:
وَٱبۡتَلُواْ ٱلۡيَتَٰمَىٰ
حَتَّىٰٓ إِذَا بَلَغُواْ ٱلنِّكَاحَ
“Dan
ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin”.
Dalam
ayat tersebut Allah menjadikan batas
minimal usia pernikahan sebagai tanda berakhirnya masa kecil. Dalam konteks ini
maka, pernikahan sebelum baligh tidak ada faidahnya. Karena pernikahan
merupakan akad yang tidak tampak faidahnya sebelum baligh. Disamping itu akibat
ketidak dewasaanya dalam perkawinan, sering kali menimbulkan mudharat bagi
dirinya. Sehingga ikatan pernikahan itu justru menjadi tekanan batinnya. (Yasalunaka,
220:II, al-Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu, 179:VII).
Beda
halnya dengan kelomok ke tegiga. Pendapat ini di kemukakakan oleh Ibnu Hajm,
menurutnya hukum pernikahan perempuan yang masih kecil sah, karena ada hadis
nabi dan atsar Sahabat yang menjelaskannya, sebagaimana yang telah
dijelaskan tadi. Akan tetapi Ibnu Hajm memandang tidak sah terhadap pernikahan
laki-laki yang masih kecil. Sebab, dalam teks hadis tersebut khusus untuk
perempuan saja. Bahkan menurutya, jika pernikahan laki-laki yang masih kecil
itu terjadi maka hars difaskh. (al-Mahalla, 560-565:IX)
Jika
melihat alasan-alasan pendapat di atas, maka pernikahan di bawah umur yang
terjadi saat ini layak untuk dilarang. Alasan pelarangannya karena pernikahan di
bawah umur ini sering kali membawa dampak negative bagi kehidupan rumah tangga
mereka. Penyebabnya, tak lain adalah pada usia tersebut biasanya persiapan
fisik, mental maupun materi belum matang. Hal ini selaras dengan pertimbangan
kelompok ke dua.
Asumsi
awalnya, hadis di atas bisa melegitimasi kebolehan nikah di bawah umur, karena
Rasulullah telah mempraktekannya. Tapi apa betul demiian? Jawabannya, belum
tentu. Seab, ada kemungkinan hadis ini hanya tertentu untuk Rasulullah saja.
Artinya tidak mutlak bisa dijadika sebagai dasar kebolehan nikah dibawah umur,
atau boleh jadi kontek hadis tersebut hanya berlaku bagi orang di bwah umur
yang sudah benar-benar memiliki kesiapan membangun rumah tangga.
Sehinga
jika seseorang yang menikah di usia muda, akan tetapi dia memiliki kesiapan
yang matang, mampu berbua adil dan mengatur rumah tangga secara baik, maka
dalam hal ini pernikahan tersebut boleh-boleh saja. Lebih-lebih jika dia
khawatir terjrumus dalam perzinaan, maka lebih baik menikah.
Penulis:
Jomblo Progresif
Sumber:
Fikih Progresif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar