Jauh sebelum Indonesia merdeka, di daerah terpencil yang begitu
sejuk dengan karunia pemandangan alam yang sangat memanjakan mata, terletak
dibawah kaki gunung Selamet, pada tanggal 9 Mei 1887, lahirlah seorang ulama
yang bernama Abdul Mutholib, ia begitu tekun beribadah dan disiplin waktu, dia
sangat peduli dengan tersebarnya agama Islam di daerah tersebut. Di umur 21
tahun beliau memutuskan untuk mendalami ilmu agama, tepatnya pada tahun 1908 beliau menempuh perjalanan yang
cukup jauh, denga niat belajar yang sangat kuat beliupun berjalan kaki sejauh
kurang lebih 125km menuju Pondok Pesantren di Tegal Gubug, Cirebon Jawa Barat.
Selama 10 tahun beliau menimba ilmu di Cirebon, ketika pulang kekampung
halaman pada tahun 1918 beliau bergabung
dengan kyai Sukyad yang lebih dulu berjuang di desa Gantungan, dua tahun
kemudian, tepatnya pada tahun 1920 mereka berdua membangun Masjid yang pertama
kali di desa tersebut dengan nama Masjid Baitul Mu’adzom. Pembangunan Masjid
itupun berimbas pada kegelisahan jiwa pejuang dakwahnya, dia berfikir bagaimana
nasib generasi Islam di desa tersebut yang notabena jauh dari keramaian
ditambah sedikitnya orang yang mengerti mengenai Islam. Beliaupun memutuskan
untuk mencoba mendirikan madrasah.
Pada masa pemerintahan kolonial
Belanda, madrasah merupakan lembaga pendidikan yang mulai muncul sebagai
semangat pembaharuan ummat Islam di Indonesia. Selain itu juga lembaga
pendidikan ini juga dibentuk karena pada saat itu umat Islam menganggap bahwa
pendidikan tradisional yang sudah ada pada saat itu dianggap masih terbelakang
dan tidak bisa mengimbangi perkemabnagan zaman, sedangkan pengajaran yang
dilakukan oleh pengajar Belanda lebih mengarah ke arah sekularisme agama,
sehingga dengan latar belakang seperti itu rakyat Islam Indonesia bersemangat
untuk mendirikan lembaga pendidikan Madrasah sebagai lembaga pendidikan islam
pada masa itu.
Namun sebagaimana dalam
sejarh, pemerintah belanda memandandang madrasah sebagai lembaga yang sangat
mengkhawatirkan mereka, dimana dalam pendidikan itu dicurigai berpotensi
menimbulkan pergerakan militansi kaum muslimin terpelajar. Dengan anggapan
seperti itu pada 1905, pemerintah Belanda mengeluarkan salah satu kebijakan
kepada masyarakat Indonesia mengenai pendidikan Islam yaitu dengan
diberlakukanya Ordonansi guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk
memiliki surat izin dari pemerintah Belanda. Sehingga tidak semua guru agama
walupun dianggap mampu mengajar agama dapat mengajar bahkan seorang kiai
sekalipun. Hal ini memang karena pemerintah belanda sudah pernah direpotkan
oleh perlawanan rakyat yang dipicu dari pendidikan agama yang mereka miliki,
dengan demikian tentu untuk mendapatkan surat izin tersebut sangat susah namun
dengan tekad yang kuat dan usaha yang keras akhirnya beliau mendapatkan surat
izin. Dengan modal percaya diri dan prinsip yang kuat serta surat tersebut
beliau mendirikan Surau kecil berukuran 6 x 4 m.