Kisah
ini saya angkat dari kisah nyata di tanah kelahiranku di Dukuh Asem, desa
Gantungan, kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal.
Desa
Gantungan merupakan salah satu desa yang terletak di kaki Gunung Selamet, desa
tersebut terbagi dalam beberapa pedukuhan, yaitu dukuh Bulak, Aren, Kerajan, Tengah
dan dukuh Asem, dalam beberapa tahun terahir diberbagai pedukuhan di desa
tersebut telah melakukan renovasi masjid besar-besaran. Dalam sejarah desa
tersebut (yang saya dengar dari sesepuh desa) masjid yang pertama kali di
bangun adalah masjid di dukuh Asem, masjid tersebut bisa dibilang paling mewah,
“pada masanya”. Seiring berjalannya waktu masjid itupun mulai ketinggalan jaman
dan tidak lagi mampu menampung penduduk yang terus meningkat, terlebih udara di
dukuh Asem sangat sejuk, apalagi dimalam hari, dingin sampai menusuk tulang,
sampai selimut kain pun tak mampu membuat tubuh sedikit lebih hangat, lantas
selimut apalagi yang mampu mengahatkan tubuh...? ya begitulah jadinya penduduk
desaku meledak menjadi semakin banyak. Tak ada faktor lain kecuali hawa dingin.
Dingin memang kadang menyebalkan (bagi jomblo seperti saya), tapi boleh jadi
menyenangkan (bagi mereka yang sudah menikah), apalagi pengantin baru. :p
Keadaan
itupun mendesak pengurus masjid untuk segera merenovasinya, terlebih di
pedukuhan lain sudah melakukan renovasi, hanya di pedukuhanku saja yang belum,
padahal dulu masjid dipedukuhanku paling mewah, seharusnya melakukan
renovasi lebih dulu sebelum pedukuhan lain melakukannya. Seminggu setelah idul
fitri kemaren, pengurus mesjid mengumpulkan masyarakat dan melakukan rencana
renovasi masjid, sayapun dipercaya untuk menjadi moderator dalam musyawarah itu.
Berbicara renovasi dan pelebaran masjid pasti tak bisa dielakan lagi berbicara
tentang tanah. Ya, tanah memang dari dulu selalu jadi problem serius dari
pedesaan hingga perkotaan. Dalam musyawarah yang cukup panjang itu, akhirnya
beberapa warga mau mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid, salah satunya
adalah tokoh desa -yang akrab disapa dengan panggilan usatd- secara
tegas mewakafkan tanahnya pada pengurus masjid untuk pelebaran masjid dan
disaksikan oleh penduduk setempat, namun selang beberapa hari tokoh tersebut
mencabut kembali wakafnya dengan alasan yang kurang bisa diterima secara logis.
Lantas bagaimana hukumnya mencabut wakaf yang telah diberikan dan disaksikan
oleh warga?
Sebelum
berbicara hukumnya, perlu dilacak asal muasal wakaf. Dalam sejarah orang yang
pertamakali wakaf adalah Sayidina Umar.
“Dari Ibnu
Umar ra. Berkata: bahwa sahabat Umar ra. Mempunyai sebidang tanah di Khaibar,
kemudian menghadap Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata : “Ya
Rasulullah, saya mempunyai sebidang tanah di Khaibar, saya tidak mempunyai
tanah sebaik tanah itu. Apa yang engkau perintahkan kepadaku ?” Rasulullah
menjawab: “jika mau, engkau bisa membatasi penggunaan tanah itu (untuk tidak
jadi hak milik) dan menyedekahkannya”. Kemudian Umar menyedekahkan tanah itu dengan
catatan, tidak untuk dijual, dihibahkan, tidak diwariskan kepada orang-orang
fakir, kaum kerabat, budak, tamu dan ibnu sabil. Tidak ada dosa bagi wali yang
mengelolanya jika menggunakannya dengan cara yang ma’ruf, atau untuk memberi
makan orang lain, asal tidak dimiliki. (HR. Jama’ah, Nailul al-Authar,
20-21:VI)
Dalam hadis
di atas terdapat catatan tidak boleh dijual dan dihibahkan, dua kata itu
merupakan kata penting untuk memahami wakaf. Menurut jumhur Syafi’iyah, catatan
itu membuktikan kepemilikan wakaf berpindah dari si waqif (orang yang wakaf) ke
tangan Allah, sehingga ia tidak punya hak jual dan hak hibah. (al-Qalyubi
105:III, I’anah al-Thalibin 176:III)
Lain halnya
dengan Imam Maliki, beliau melihat Sabda Rasulullah “jika mau, engkau bisa
membatasi penggunaan tanah itu dan menyedekahkannya”, mengisyaratkan bahwa yang
berpindah bukanlah kepemilikannya, melainkan kmanfaatannya. Karena itu
menurutnya kepemilikan wakaf tidak berpindah dari tangan orang yang wakaf ke
orang yang diberi wakaf, hanya kmanfaatannya saja yang berpindah, dalam arti
orang yang wakaf tidak bisa memanfaatkannya, hanya orang yang diberi wakaf yang
bisa memanfaatkannya.
Senada
dengan Imam Maliki, Imam Hanafi melihat wakaf tak ubahnya seperti ‘ariyah
(barang pinjaman), karena itu kepimilkan tidak berpindah tangan dari orang yang
memberi wakaf ke orang yang diberi wakaf.
Implikasi
dari cara pandang yang berbeda tersebut adalah dalam soal boleh tidaknya orang
yang memberi wakaf mengambil kembali
barang yang telah diwakafkan. Jika
kepemilikan barang yang diwakafkan tersebut tidak berpindah, maka orang
yang memberi wakaf masih berpeluang mencabut kembali barang yang telah
diwakafkan, namun jika kepimilikan tersebut menjadi milik Allah maka tidak
boleh mencabut kembali barang yang telah diwakafkan.
Perlu
ditegaskan bahwa peluang mencabut kembali ini hanya berlaku untuk wakaf
mu’ayyan (orang yang diberi wakafnya tertentu) misalnya wakaf untuk si fulan
selama hidup diperjalanan, jika mau, ia bisa mencabut kembali. Sedangkan untuk
wakaf li jihatil khairi (wakaf yang semata-mata untuk kebaikan bersama) seperti
masjid, mushola, madrasah, pondok, dll, pencabutan wakaf tidak berlaku.
Artinya, sekali diwakafkan, dengan alasan apapun, orang yang wakaf tidak bisa
menarik kembali. Ini kesepakatan seluruh madzhab. (lihat fikih progresif,
500:I, lihat juga, Fiqhu al-Islam, 169:VIII, I’anah al-Thalibin 176:III,
al-Qalyubi 105:III, as-Syarqawy ‘ala al-Tahrir, 173:III).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar