Jumat, 19 Agustus 2016

WAKAF DITARIK KEMBALI. BOLEHKAH?



Kisah ini saya angkat dari kisah nyata di tanah kelahiranku di Dukuh Asem, desa Gantungan, kecamatan Jatinegara, Kabupaten Tegal.
Desa Gantungan merupakan salah satu desa yang terletak di kaki Gunung Selamet, desa tersebut terbagi dalam beberapa pedukuhan, yaitu dukuh Bulak, Aren, Kerajan, Tengah dan dukuh Asem, dalam beberapa tahun terahir diberbagai pedukuhan di desa tersebut telah melakukan renovasi masjid besar-besaran. Dalam sejarah desa tersebut (yang saya dengar dari sesepuh desa) masjid yang pertama kali di bangun adalah masjid di dukuh Asem, masjid tersebut bisa dibilang paling mewah, “pada masanya”. Seiring berjalannya waktu masjid itupun mulai ketinggalan jaman dan tidak lagi mampu menampung penduduk yang terus meningkat, terlebih udara di dukuh Asem sangat sejuk, apalagi dimalam hari, dingin sampai menusuk tulang, sampai selimut kain pun tak mampu membuat tubuh sedikit lebih hangat, lantas selimut apalagi yang mampu mengahatkan tubuh...? ya begitulah jadinya penduduk desaku meledak menjadi semakin banyak. Tak ada faktor lain kecuali hawa dingin. Dingin memang kadang menyebalkan (bagi jomblo seperti saya), tapi boleh jadi menyenangkan (bagi mereka yang sudah menikah), apalagi pengantin baru. :p
Keadaan itupun mendesak pengurus masjid untuk segera merenovasinya, terlebih di pedukuhan lain sudah melakukan renovasi, hanya di pedukuhanku saja yang belum, padahal dulu masjid dipedukuhanku paling mewah, seharusnya melakukan renovasi lebih dulu sebelum pedukuhan lain melakukannya. Seminggu setelah idul fitri kemaren, pengurus mesjid mengumpulkan masyarakat dan melakukan rencana renovasi masjid, sayapun dipercaya untuk menjadi moderator dalam musyawarah itu. Berbicara renovasi dan pelebaran masjid pasti tak bisa dielakan lagi berbicara tentang tanah. Ya, tanah memang dari dulu selalu jadi problem serius dari pedesaan hingga perkotaan. Dalam musyawarah yang cukup panjang itu, akhirnya beberapa warga mau mewakafkan tanahnya untuk pembangunan masjid, salah satunya adalah tokoh desa -yang akrab disapa dengan panggilan usatd­- secara tegas mewakafkan tanahnya pada pengurus masjid untuk pelebaran masjid dan disaksikan oleh penduduk setempat, namun selang beberapa hari tokoh tersebut mencabut kembali wakafnya dengan alasan yang kurang bisa diterima secara logis. Lantas bagaimana hukumnya mencabut wakaf yang telah diberikan dan disaksikan oleh warga?

Sebelum berbicara hukumnya, perlu dilacak asal muasal wakaf. Dalam sejarah orang yang pertamakali wakaf adalah Sayidina Umar.
“Dari Ibnu Umar ra. Berkata: bahwa sahabat Umar ra. Mempunyai sebidang tanah di Khaibar, kemudian menghadap Rasulullah untuk memohon petunjuk. Umar berkata : “Ya Rasulullah, saya mempunyai sebidang tanah di Khaibar, saya tidak mempunyai tanah sebaik tanah itu. Apa yang engkau perintahkan kepadaku ?” Rasulullah menjawab: “jika mau, engkau bisa membatasi penggunaan tanah itu (untuk tidak jadi hak milik) dan menyedekahkannya”. Kemudian Umar menyedekahkan tanah itu dengan catatan, tidak untuk dijual, dihibahkan, tidak diwariskan kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, budak, tamu dan ibnu sabil. Tidak ada dosa bagi wali yang mengelolanya jika menggunakannya dengan cara yang ma’ruf, atau untuk memberi makan orang lain, asal tidak dimiliki. (HR. Jama’ah, Nailul al-Authar, 20-21:VI)

Dalam hadis di atas terdapat catatan tidak boleh dijual dan dihibahkan, dua kata itu merupakan kata penting untuk memahami wakaf. Menurut jumhur Syafi’iyah, catatan itu membuktikan kepemilikan wakaf berpindah dari si waqif (orang yang wakaf) ke tangan Allah, sehingga ia tidak punya hak jual dan hak hibah. (al-Qalyubi 105:III, I’anah al-Thalibin 176:III)

Lain halnya dengan Imam Maliki, beliau melihat Sabda Rasulullah “jika mau, engkau bisa membatasi penggunaan tanah itu dan menyedekahkannya”, mengisyaratkan bahwa yang berpindah bukanlah kepemilikannya, melainkan kmanfaatannya. Karena itu menurutnya kepemilikan wakaf tidak berpindah dari tangan orang yang wakaf ke orang yang diberi wakaf, hanya kmanfaatannya saja yang berpindah, dalam arti orang yang wakaf tidak bisa memanfaatkannya, hanya orang yang diberi wakaf yang bisa memanfaatkannya.

Senada dengan Imam Maliki, Imam Hanafi melihat wakaf tak ubahnya seperti ‘ariyah (barang pinjaman), karena itu kepimilkan tidak berpindah tangan dari orang yang memberi wakaf ke orang yang diberi wakaf.

Implikasi dari cara pandang yang berbeda tersebut adalah dalam soal boleh tidaknya orang yang memberi wakaf  mengambil kembali barang yang telah diwakafkan. Jika  kepemilikan barang yang diwakafkan tersebut tidak berpindah, maka orang yang memberi wakaf masih berpeluang mencabut kembali barang yang telah diwakafkan, namun jika kepimilikan tersebut menjadi milik Allah maka tidak boleh mencabut kembali barang yang telah diwakafkan.

Perlu ditegaskan bahwa peluang mencabut kembali ini hanya berlaku untuk wakaf mu’ayyan (orang yang diberi wakafnya tertentu) misalnya wakaf untuk si fulan selama hidup diperjalanan, jika mau, ia bisa mencabut kembali. Sedangkan untuk wakaf li jihatil khairi (wakaf yang semata-mata untuk kebaikan bersama) seperti masjid, mushola, madrasah, pondok, dll, pencabutan wakaf tidak berlaku. Artinya, sekali diwakafkan, dengan alasan apapun, orang yang wakaf tidak bisa menarik kembali. Ini kesepakatan seluruh madzhab. (lihat fikih progresif, 500:I, lihat juga, Fiqhu al-Islam, 169:VIII, I’anah al-Thalibin 176:III, al-Qalyubi 105:III, as-Syarqawy ‘ala al-Tahrir, 173:III).

Semoga bermanfaat . . .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar