Jumat, 19 Agustus 2016

Mengintip Sejarah Berkembangnya Islam di Desa Gantungan, Jatinegara, Tegal.



Jauh sebelum Indonesia merdeka, di daerah terpencil yang begitu sejuk dengan karunia pemandangan alam yang sangat memanjakan mata, terletak dibawah kaki gunung Selamet, pada tanggal 9 Mei 1887, lahirlah seorang ulama yang bernama Abdul Mutholib, ia begitu tekun beribadah dan disiplin waktu, dia sangat peduli dengan tersebarnya agama Islam di daerah tersebut. Di umur 21 tahun beliau memutuskan untuk mendalami ilmu agama, tepatnya pada  tahun 1908 beliau menempuh perjalanan yang cukup jauh, denga niat belajar yang sangat kuat beliupun berjalan kaki sejauh kurang lebih 125km menuju Pondok Pesantren di Tegal Gubug, Cirebon Jawa Barat.
Selama 10 tahun beliau menimba ilmu di Cirebon, ketika pulang kekampung halaman  pada tahun 1918 beliau bergabung dengan kyai Sukyad yang lebih dulu berjuang di desa Gantungan, dua tahun kemudian, tepatnya pada tahun 1920 mereka berdua membangun Masjid yang pertama kali di desa tersebut dengan nama Masjid Baitul Mu’adzom. Pembangunan Masjid itupun berimbas pada kegelisahan jiwa pejuang dakwahnya, dia berfikir bagaimana nasib generasi Islam di desa tersebut yang notabena jauh dari keramaian ditambah sedikitnya orang yang mengerti mengenai Islam. Beliaupun memutuskan untuk mencoba mendirikan madrasah.
Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, madrasah merupakan lembaga pendidikan yang mulai muncul sebagai semangat pembaharuan ummat Islam di Indonesia. Selain itu juga lembaga pendidikan ini juga dibentuk karena pada saat itu umat Islam menganggap bahwa pendidikan tradisional yang sudah ada pada saat itu dianggap masih terbelakang dan tidak bisa mengimbangi perkemabnagan zaman, sedangkan pengajaran yang dilakukan oleh pengajar Belanda lebih mengarah ke arah sekularisme agama, sehingga dengan latar belakang seperti itu rakyat Islam Indonesia bersemangat untuk mendirikan lembaga pendidikan Madrasah sebagai lembaga pendidikan islam pada masa itu.   
Namun sebagaimana dalam sejarh, pemerintah belanda memandandang madrasah sebagai lembaga yang sangat mengkhawatirkan mereka, dimana dalam pendidikan itu dicurigai berpotensi menimbulkan pergerakan militansi kaum muslimin terpelajar. Dengan anggapan seperti itu pada 1905, pemerintah Belanda mengeluarkan salah satu kebijakan kepada masyarakat Indonesia mengenai pendidikan Islam yaitu dengan diberlakukanya Ordonansi guru. Kebijakan ini mewajibkan guru-guru agama untuk memiliki surat izin dari pemerintah Belanda. Sehingga tidak semua guru agama walupun dianggap mampu mengajar agama dapat mengajar bahkan seorang kiai sekalipun. Hal ini memang karena pemerintah belanda sudah pernah direpotkan oleh perlawanan rakyat yang dipicu dari pendidikan agama yang mereka miliki, dengan demikian tentu untuk mendapatkan surat izin tersebut sangat susah namun dengan tekad yang kuat dan usaha yang keras akhirnya beliau mendapatkan surat izin. Dengan modal percaya diri dan prinsip yang kuat serta surat tersebut beliau mendirikan Surau kecil berukuran 6 x 4 m.

Dalam perkembangannya, ordonansi guru itu sendiri mengalami perubahan dari keharusan guru agama mendapatkan seurat izin dari pemerintah Belanda, pada 1925 menjadi keharusan guru agama cukup dengan melapor dan memberitahu saja. Perubahan ordonansi guru ini diberlakukan secara luas di berbagai wilayah.
Dua bulan setelah pembangunannya, Surau tersebut dimanfaatkan untuk mengajarkan agama kepada muridnya dan masyarakat umum. Dalam usahanya untuk meneruskan perjuangannya, beliau mendidik anak dan cucunya di pondok pesantren baik di dalam maupun di luar daerah dan ternyata cukup berhasil.
Beliau memiliki tiga istri, yang pertama Asiyah namun tidak dikaruniai seorang anak. Yang kedua Avril dikarunia seorang anak laki-laki bernama Muhtarom dan yang terakhir adalah Rodhiyah dikaruniai dua putri Muhimah dan Masnah. Beliaupun menutup usia dengan umur 86 tahun Pada tahun 1973.
Selama 12 tahun perjuangannya diteruskan oleh anaknya dari istri kedua yaitu Muhtarom dan menantu dari istri ketiganya yang bernama Sanuri sampai tahun 1985, dari tahun itu sampai tanggal  9 Juni  1987 Majlis Ta’lim yang bertempat di Surau itu vakum. Ketika cucunya yang bernama Fathudin pulang dari pondok pesantren kempek Cirebon pada tahun 1987, dia berusaha keras mengumpulkan tokoh-tokoh yang dulunya menjadi murid kyai Abdul Muthalib untuk membangkitkan lagi semangat perjuangan yang pernah dibangun beliau. Akhirnya mereka sepakat untuk membuat rencana pembangunan Pondok Pesantren dengan nama TARBIYATUL MUBTADI’IN (Pendidikan untuk para pemula).
Dalam rencan tersebut pembangunan akan mulai dilaksanakan pada tahun 1990 namun panitia kesulitan dalam mencari dana, akhirnya baru bisa berdiri pada tahun 2001 dengan ukuran 7 x 13m. Pada tahun 1997 ketika rencana pembangunan pondok pesantren belum terealisasikan dia bersama pengurus membuka pendidikan Diniyah tingkat Wustha yang diberi nama MDW Tarbiyatul Mubtadi’in, berhubung belum ada gedung yang mampu menampung, kegiatan belar mengajar bertempat dirumahnya dan Surau yang dibangun Kyai Muthalib. 7 tahun kemudian baru mendapatkan SK dari Kandepag Kabupaten Tegal pada tanggal 20 Juni 2004 dan pada tanggal 5 Januari 2005 Pondok Pesantren Tarbiyatul Mubtadi’in diresmikan oleh Departemen Agama Kabupaten Tegal. Sampai sekarang Pondok  tersebut di kelola oleh cucunya Kyai Abdul Mutholib yang sudah meluluskan beberapa santri dari berbagai daerah.


3 komentar: