Sering
sekali saya mendengar curhatan temen” yang diputus gara” pasangannya dijodohin
sama orang tuanya padahal mereka telah merajut asmara bertahun-tahun. Nikah
paksa . . . ! bagaimana fikih memotret fenomena ini?
Apakah
praktik nikah paksa berkonsekuensi kepada tidak sahnya pernikahan? Kemudian
saat istri tidak mencintai suaminya, apakah bisa dijadikan sebagai argumen
untuk melakukan cerai?
Pada
dasarnya, dalam fikih, kita mengenal istilah nikah paksa dengan mengunakan hak ijbar. Namun model nikah seperti ini
deperbolehkan ketika memenuhi beberapa kriteria. Diantaranya. Tidak ada
kebencian antara anak dan ayah, calon pasanag suami istri serasi, calon suami
mampu membayar mahar, calon pasanag suami istri tidak ada permusuhan secara Dzahir dan batin. Si gadis tidak dinikahkan dengan calon suami yang bisa
membuat dirinya sengsara dalam berumahtangga.
Melihat
kriteria di atas nampaknya alasan tidak sukanya si gadis tidak bisa
menggugurkan hak ijbar (paksa) bagi
orang tua. Keputusan ini sepertinya memang kurang adil. Karena bagaimanapun
keluarga yg sakinah harus dibangun
atas dasar cinta dan kasih sayang. Orang tua tak selayaknya menikahkan putra putrinya
dengan pasangan yang tidak dicintainya, sepatutnya membirakannya untuk
mnentukan pujaan hatinya. Karena tugas orang tua untuk membimbing bukan
memaksa.
Dalam
kajian fikih terdapat dua kelompok yang mengomentari masalah ini. Pertama,
kelompok yang berpendapat bahwa nikah paksa tidak sah. Ulama yang ada dalam
barisan ini diantaranya adalah Abu Hanifah, Imam Auza’i, Ibn Hajar, Sayyid
Sabiq dan ulama kufah. Mereka berargument dengan hadis:
تَسْكُتَ أَنْ قَالَإِذْنُهَاا كيف قَالُوا نتُسْتَأْذَ حَتَّى الْبِكْرُ تُنْكَحُ وَلَا تُسْتَأْمَرَ حَتَّى الْأَيِّمُ تُنْكَحُ لَا
"Janda tidak boleh dinikahi hingga
diajak musyawarah, dan gadis tidak boleh dinikahi hingga dimintai izin."
Para sahabat bertanya; 'bagaimana tanda izinnya? ' Nabi menjawab; "jika
dia diam."
Dari hadis tersebut mreka mengambil
pemahaman bahwa meminta izin kepada gadis yang akan di nikahkan adalah wajib.
Jika dia diakadkan tanpa diminta restunya apalagi dipaksa, maka akad
nikahnyanya tidak sah. (Fath al-Mun’im Syarh as-Shahih Muslim 523-524:V)
Kelompok kedua
nikah paksa hukumnya sah dengan beberapa kriteria yang telah disebutkan di
atas. Persyaratan lain adalah pihak yang berhak memaksa hanya sebatas ayah dan
kakek si gadis. Kelompok yang ada dalam barisan ini diantaranya adalah imam
Syafi.i, Maliki dan Hanbali.
Terlepas dari perbedaan
hukum di atas, perlu diingat bahwa setiap sesuatu yang dihasilkan dari paksaan
pastilah tidak baik, sebaliknya sesuatu yang dihasilkan dari kutulusan pastilah
sebuah kebahagiaan. Seyogyanya penentuan calon pasangan hidup itu berdasalkan
pada ketulusan orang tua dan anak”nya, kalaupun terjadi pertentangan,
semestinya orang tua mengedepankan pilihan anak”nya.
Lalu bagaimana kalau
pernikahan itu tetep dilaksanakan hanya karena menuruti keinginan orang tua,
sementara bait” cinta belum terlukis diantara dua insan yang belum bisa merajut
asmara, disinilah muncul problem akut, apakah pasangan berhak mengajukan
tuntutan cerai?
Sebelum menjawab
pertanyaan itu, saya ingin sedikit menceritakan kisah sahabat yang bernama
Tsabit bin Qays yang menikahi gadis bernama Umu Habibah, padahal mereka belum
saling mengenal satu sama lain apalagi cinta. Tsabit menikahinya dengan mahar
sepetak kebun,. Singkat cerita setelah menikah Habibah terkejut setelah
mengetahui sosok suaminya, ternyata Tsabit bukanlah pria yang selama ini dia
impikan, hatinya mulai dihantui kekecewaan dan kehawatiran yang amat dalam, ia
takut tidak bisa melaksanakan kewajibannya sebagai istri karena hatinya tidak
bisa menerima suaminya.
Akhirnya dia
mengutarakan gejolak jiwanya pada Rasulullah. Kemudian beliau bertanya, maukah
kau mengembalikan kebun yang Tsabit berikan padamu sebagai maskawin? Dengan
tegas dia menjawab, jangankan sepetak kebun, minta tamabahanpun aku siap
memberikannya. Kemudian beliau bersabda: “kau cukup menyerahkan kebun itu pada
Tsabit”. Selanjutnya Rasulullah menyarankan:
اقبل
الحدقة وطلقها تطلقة
Serahkanlah kebun itu
(wahai Umu Habibah) dan talaklah dia (wahai Tsabit). (Sahih bukhari, 4867 dan
320:XXVI, Sunan Nasa’i, 3409 dan 168:XXI)
Begitulah cara
Rasulullah menyelesaikan problem nikah yang tidak didasarkan pada rasa suka dan
cinta. Dari peristiwa tersebutlah muncul istilah Khulu’ yaitu permintaan
cerai dari pihak istri kepada suami dengan syarat mengemablikan mahar yang
telah diterimanya. Umu Habibah tercatat dalam
sejarah sebagai perempuan pertama yang mengajukan Khulu’.(Fiqh
al-Sunnah: 191:II)
Lalu bagaimana jika
keinginan cerai itu dihalang”i oleh orang tua? Perlu diingat, posisi orang tua
hanya sebatas pemberi saran dan nasehat, bukan bertindak seperti ratu dan raja
yang dapat memaksa dan mengancam. Tapi bagaimana caranya menjadi pembina yang
baik atas keputusan ank”nya demi merajut rumah tangga yang sakinah. Bagai
mana mau merajut keluarga yang sakinah jika didalamnya tidak ada mawaddah
dan rahmah sebagaimana surat ar-Rum ayat 21.
Sumber : Fikih
Progresif
Tidak ada komentar:
Posting Komentar